Penulis : Mahbub Jamaluddin
Penerbit : Matapena
"Brak!"
Sarung itu ditarik dengan cepat dan mendadak, hingga mlotrok. Sorak-sorai itu pun berubah menjadi hujan gerrr!. Puji buru-buru mengangkat sarungnya kembali sambil nyengir malu campur marah.
Dirasakannya seluruh tubuhnya berwarna merah.
"Belum santri!", celetuk si Ipin. "Kalau sudah santri, disebrak kayak apa pun nggak bakal melorot!"
"Mau coba yang nyantri?" Wawan menjulurkan badannya. Puji diam saja. Masih malu.
Wawan menyuruh salah satu santri yang jadi suporter untuk menarik sarungnya kuat-kuat. "Hup! Hup! Hup! Hup!" Walau berkali-kali si santri menarik keras-keras, sarung Wawan tetap tidak bergeming. Wawan memandang Puji dengan sebelah matanya, seolah berkata: "Benar kan? Nih, santri sejati!" Diangkatnya baju koko biru lautnya, menunjukkan kalau sarungnya tidak diikat sabuk.
Santri sejati?! Hmm, semua santri tentu pengen jadi yang sejati. Tapi masak hanya ditentukan oleh kuat lemahnya ikatan sarung? Begitu, Puji terus berpikir-pikir mencari jawabnya.
aku udah baca novel ini... siapa yg minjemin yaaa (evilsmirk)
ReplyDeletehehe
di kampus ketemu banyak temen yang dari pondok/ mantan santri, dan mereka ga segitunya juga kok kaya si puji. mungkin beda pesantren beda aturan ya, tp sekarang banyak juga pesantren modern yg membuka diri terhadap dunia luar dan teknologi,tapi tetep menjunjung tinggi kehidupan islami.
yang aku inget banget, tempat mejengnya mereka bukan amplaz,bukan BIP,bukan BSM, bukan PVJ, tapi... RITA!